Sudah sebulan Tardjo tak lagi berpenghasilan tetap. Maklum, dulu ia adalah seorang pawang hujan. Tapi sejak orang-orang lebih percaya aplikasi prakiraan cuaca ketimbang kemenyan dan mantra-mantranya, jasanya mulai tak laku. Orang-orang kini lebih suka berdebat di media sosial soal cuaca daripada membayar jasa pawang.

Akibatnya, ekonomi keluarganya langsung kering kerontang seperti jemuran di musim kemarau. Apesnya lagi, istrinya mulai sering mengeluh karena stok beras di dapur makin menipis. Sementara uang di dompetnya lebih tipis lagi—malah lebih tipis dari sabar istrinya menunggu keajaiban dari suaminya yang kini lebih sering memandangi langit dengan tatapan kosong.

"Kita sudah resmi jadi orang miskin," kata Tardjo suatu malam, sambil memperlihatkan Kartu Tanda Miskin yang baru diperolehnya dari Pak Lurah.

"Setiap bulan, kita akan mendapatkan beras dan uang dari negara," lanjutnya sambil memasukkan kartu tersebut ke dalam dompet lecek yang beberapa bulan ini ia biarkan tergeletak di bawah kasur.

Meskipun sekarang Tardjo telah memiliki kartu dengan jabatan resmi sebagai "Orang Miskin," keadaan tak kunjung membaik. Bahkan mereka semakin akrab dengan lapar. Untungnya, keluarganya sudah terlatih menghadapi situasi sulit. Jika lapar melanda, mereka akan pergi ke acara pernikahan orang tak dikenal atau ikut pengajian. Mereka mungkin terkantuk-kantuk sepanjang ceramah, tapi langsung segar bugar begitu hidangan disajikan.

Pernah suatu pagi di hari Minggu, Tardjo mengajak anak-istrinya makan di restoran mewah. Mereka memesan apa saja yang diinginkan. Selesai makan, ia menyerahkan Kartu Tanda Miskin pada kasir. Bisa ditebak, apa yang terjadi selanjutnya. Ia dimaki, dikejar-kejar, dan diusir petugas keamanan restoran. Namun begitu, ia tetap bahagia, setidaknya hari itu, ia dan keluarganya tak kelaparan.

Namun takdir memang selalu punya cara mengejutkan. Tanpa firasat apapun, tiba-tiba saja Tardjo mendadak mati. Anaknya terbengong melihat jasad ayahnya, sementara istrinya menangis, bukan karena sedih, tapi karena bingung tak punya uang untuk membeli kain kafan.

Para pelayat sudah mulai dongkol menunggu, kapan jenazah Tardjo dikafani dan dikuburkan. Karena merasa hanya bikin repot orang lain, Tardjo memutuskan untuk kembali hidup. Dan sejak peristiwa itu, ia sering murung.

Nasib buruk terkadang memang kurang ajar. Mungkin karena terlalu akrab dengan murung, suatu hari Tardjo berubah menjadi ayam. Anak-istrinya yang kelaparan segera menyembelihnya.

Untungnya, Tardjo punya kesaktian tinggi. Setelah disembelih dan dimakan oleh keluarganya, ia hidup kembali dan berubah wujud menjadi babi raksasa berwarna putih. Kabar ini membuat seluruh kampung gempar. Warga berduyun-duyun datang ke rumahnya untuk menyaksikan fenomena langka ini. Melihat peluang bisnis, istrinya segera memasang papan bertuliskan, “Tiket Masuk Rp 50.000,-” di pagar rumahnya.

Beberapa bulan kemudian, istri Tardjo sudah kaya raya. Dan Tardjo pun kembali berubah menjadi manusia.

********

Sambil menyeruput kopi di teras rumah, aku sering membayangkan bagaimana wajah Tardjo saat berubah menjadi ayam lalu menjadi babi putih raksasa, dan akhirnya disembelih oleh anak istrinya. Wajahnya mengingatkanku pada wajah yang selalu muncul setiap kali bercermin.